Pulau Penyengat – Menyelisik Peninggalan Kerajaan Melayu

Pulau Penyengat - Kepulauan Riau - Kepri - Yopie Pangkey

Pulau Penyengat – Hanya butuh waktu lima belas menit menyeberangi lautan dari Pelabuhan Penyengat Tanjung Pinang Pulau Bintan. Pulau Penyengat salah satu tempat wisata di Kepulauan Riau nampak di depan mata. Sejarah Pulau Penyengat banyak menarik wisatawan untuk datang. Terutama untuk mengunjungi masjid, istana, dan makam di sana.

Hari itu, beberapa wisatawan duduk menunggu keberangkatan pompong, sebutan perahu bermotor, yang melayani rute pendek tersebut. Butuh lima belas penumpang agar pompong mau berangkat. Satu penumpang satu jaket pelampung, untuk keamanan penyeberangan. Nama-nama pun dicatat oleh petugas pelabuhan.

Pulau Penyengat - Kepulauan Riau - Kepri - Yopie Pangkey

Masjid Raya Sultan Riau

Hanya berjarak dua kilometer, Masjid Raya Sultan Riau bisa dilihat dari tepi pantai Kota Tanjungpinang. Satu-satunya sisa kemegahan Kerajaan Riau-Lingga yang masih utuh di antara rumah-rumah penduduk yang tampak rapat dari kejauhan. Perlahan perahu kami merapat ke dermaga pulau.

Berjalan kaki dari dermaga, saya disambut beberapa pengendara becak motor yang menawarkan jasa mengantar ke beberapa tempat bersejarah di pulau. Namun memilih jalan kaki karena lokasi masjid terletak tidak jauh dari dermaga pulau.

(Cek: Wisata Kepulauan Riau)

Masjid Raya Sultan Riau - Yopie Pangkey - 11
Mimbar imam sholat.
Masjid Raya Sultan Riau - Yopie Pangkey - 10
Menara masjid

Komplek masjid dikelilingi oleh dinding kokoh yang didominasi warna kuning. Mulai dari pagar, bangunan masjid, dan bangunan-bangunan tambahan, semua bewarna kuning.  Menurut cerita turun temurun dari pak Abdullah, penjaga masjid yang saya temui, bangunan masjid dibangun dengan menggunakan campuran putih telur, pasir,tanah liat, dan kapur. Kebayang kan berapa banyak jumlah telur yang digunakan saat itu.

Ada kebijakan pengurus masjid untuk tidak memotret di dalam ruangan masjid. Bukan berarti tidak boleh sama sekali. “Silakan temui ketua pengurus masjid. Untuk kepentingan liputan biasanya diizinkan. Sudah ratusan yang meminta izin dan diperbolehkan,” Pak Abdullah menerangkan dengan ramah kepada saya.

Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Selain soal perizinan, yang lebih penting bisa berkenalan dengan penduduk dan memahami kearifan lokal yang berlaku di situ.

Masjid Raya Sultan Riau - Yopie Pangkey - 8
Bedug di bangunan bagian kiri masjid
Masjid Raya Sultan Riau - Yopie Pangkey - 9
Alqur’an tulisan tangan

Selanjutnya, saya kembali mendengarkan cerita pak Abdullah. Yang pertama kali membangun masjid ini adalah Sultan Mahmud di tahun 1803. Lalu di masa pemerintahan Yang Dipertuan Muda VII Raja Abdurrahman tahun 1832, dilakukan renovasi ke dalam bentuk yang dapat kita lihat saat ini.

Berukuran 18×20 meter, ditopang 4 tiang beton. Dipercantik dengan 4 menara yang difungsikan sebagai tempat pengumandang adzan memanggil warga untuk sholat. “Di atas kita ada 13 kubah. Kalau ditambah dengan jumlah menara menjadi tujuh belas. Tujuh belas itu melambangkan jumlah rakaat sholat wajib kita setiap harinya bukan,” Pak Abdullah melanjutkan ceritanya.

Masjid Raya Sultan Riau - Yopie Pangkey - 6 Masjid Raya Sultan Riau - Yopie Pangkey - 7

Ada yang menarik perhatian saya saat memasuki Masjid. Sebuah Mushaf al-Quran yang diletakkan terbuka setengah bagian dan dilindungi oleh kotak kaca. Ada papan keterangan yang menjelaskan al-Quran tersebut. “Terdapat dua buah al-Quran tulisan tangan yang tersimpan di dalam Masjid Sultan Riau Pulau Penyengat. Adapaun al-Quran yang sedang anda lihat saat ini adalah hasil goresan tangan Abdurrahman Stambul, seorang penduduk Pulau Penyengat yang dikirim oleh Kerajaan Lingga ke Mesir untuk memperdalam ilmu Agama Islam.

Sekembalinya dari belajar beliau menjadi guru dan terkenal dengan “khat” gaya Istambul. Al-Quran ini diselesaikan beliau pada tahun 1867 sambil mengajar. Keistimewaan al-Quran Mushaf Abdurrahman Stambul ini adalah banyaknya penggunaan “Ya Busra” serta beberapa rumah huruf yang titiknya sengaja disamarkan sehingga membacanya cenderung berdasarkan interpretasi individu sesuai akal dan ilmunya.”

Selesai berkeliling komplek masjid, saya diajak oleh pengendara becak motor untuk berkeliling ke beberapa tempat di pulau Penyengat. Becak motor ini sedikit berbeda dengan yang pernah saya jumpai di Aceh dan Sumatera Utara. Tetap beroda tiga, hanya saja  becak motor di sini menggunakan kayu sebagai tutup tempat duduk penumpang. Bukan terpal dan rangka besi yang bisa dinaikkan dan diturunkan sesuai permintaan penumpang dengan pertimbangan cuaca.

Masjid Raya Sultan Riau, Pulau Penyengat, Kepulauan Riau. #theta360 – Spherical Image – RICOH THETA

(Lihat: Ricoh Theta S, Kamera 360 Untuk Rekan Foto dan Video Jalan-jalan)

Makam Raja Hamidah

Melewati jalan yang disemen, pemberhentian pertama saya menggunakan becak motor adalah kompleks Makam Engku Puteri. Kompleks ini berisikan makam-makam para tokoh penting dan bersejarah Riau (Melayu), seperti Engku Puteri yang mempunyai nama lahir Raja Hamidah. Lalu ada makam Raja Ali Haji, Raja Ahmad, dan Raja Abdullah.

Makam Raja Hamidah berada di dalam cungkup (Bangunan beratap pelindung makam) yang berbentuk seperti masjid. Di sekeliling cungkup tampak banyak sekali makam-makam kerabat Raja Hamidah. Di dalam cungkup, selain makam Raja Hamidah juga terdapat makam Mariam, selir Sultan Mahmud. Lalu ada makam Raja Haji Abdullah Marhum Mursyid YDM Riau IX yang berdampingan dengan makam istrinya, Raja Aisyah.

Makam Raja Hamidah - Yopie Pangkey - 2 makam-raja-hamidah-yopie-pangkey-4

Di luar Cungkup ada makam Raja Ali Haji (1808-1873). Beliau adalah abang sepupu Engku Puteri, dan seorang sastrawan yang terkenal dengan karyanya Gurindam Dua Belas. Raja Ali Haji telah dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional, sedangkan Raja Ahmad adalah penasehat kerajaan. Adapun Raja Abdullah adalahYDMR IX (1857-1858).

– Engku Puteri

Engku Puteri adalah istri dari Sultan Mahmud III, Sultan Riau-Lingga (1762-1812). Kalau saja saya tidak kemari, mungkin saya tidak tahu persis siapa wanita ini. Saat saya cari di mesin pencarian setelah pulang, baru saya tahu bahwa Raja Hamidah adalah seorang wanita yang elegan, cerdas, dan bijaksana. Anggun dan berwibawa.

Bukan hanya sebagai isteri, Engku Puteri juga menjadi penasehat kerajaan, pemegang kekuasaan adat dan tradisi. Juga dipercaya oleh suaminya untuk menjalankan tugas sebagai Pemegang Regalia Kerajaan. Regalia adalah sebuah perangkat sakral kerajaan, tanda dan panji kebesaran, perangkat nobat, Sirih Besar, gendang, nafiri, dan lain-lain. Bagi kerajaan-kerajaan Melayu saat itu, Regalia adalah benda penting.  Boleh saja sebuah kerajaan diserang dan direbut. Namun selama Regalia masih dipegang oleh sang raja, maka kedaulatan kerajaan masih tegak.

(Lihat ini juga ya guys: Tanjungpinang, Negeri Seribu Kedai Kopi)

Jadi, siapapun yang memegang Regalia bisa dipastikan dia adalah seorang yang kuat dan perkasa. Tidak sah seorang raja kalau pelantikannya tidak menggunakan Regalia.Sebuah tugas mulia namun berat sanggup dipegang oleh Engku Puteri. Memegang eksistensi sebuah kerajaan dan penjaga adat istiadat.

Dari Engku Puteri dan Raja Ali Haji saya mendapat banyak sekali pelajaran hari itu. Saya jadi sadar bahwa kepahlawanan itu tidak harus melulu dengan angkat senjata melawan penjajah. Keduanya berjuang dengan kata-kata, budaya, keteguhan hati, dan kekuatan jiwa. Sungguh perjalanan saya yang berharga. Mendapat hikmah dari jejak sejarah yang ada di pulau Penyengat.

Balai Adat Melayu Pulau Penyengat

Tidak banyak waktu yang saya miliki hari itu di pulau Penyengat. Rumah Adat Melayu di sisi lain pulau yang terpikir oleh saya untuk dikunjungi sebelum kembali ke kota Tanjungpinang. Becak motor kembali menderu-deru membelah pulau. Berbelok di jalan tepi pantai, saya tiba di depan gerbang kompleks Balai Adat dengan halaman luas dan bangunan panggung yang besar.

Beberapa bulan lalu saya sempat melihat foto balai adat ini di sebuah blog kawan yang mengikuti acara Fesival Pulau Penyengat. Tak ternyana, hari ini saya berada di tempat yang sama dan melihat langsung serta memasuki balai adat ini.

Balai Adat Melayu - Pulau Penyengat - Yopie Pangkey - 1

Balai ini menghadap ke laut. Halaman luas, dinding kayu bewarna coklat, jendela-jendela besar. Warna kuning di bagian pondasi, tangga, serta ornamen-ornamennya, menambah kesan megah bangunan balai adat ini. Warna kuning menjadi warna favorit di pulau Penyengat. Hampir di semua destinasinya selalu ada warna kuning.

Tulisan ‘Balai Adat Melayu Indera Perkasa” menyambut saya di depan pintu masuk teras. Di bagian kiri dan kanan terdapat teks Gurindam Dua Belas yang sudah tersohor ke saentero negeri. Membacanya, saya jadi termenung dengan pesan-pesan yang dimuatnya. Begitu dalam makna dan begitu indah tutur katanya.

Balai Adat Melayu - Pulau Penyengat - Yopie Pangkey - 2

Tidak percuma jauh-jauh datang ke pulau Penyengat. Saya terpesona dengan jejak budaya yang masih tertinggal sampai saat ini. Mata dan hati saya masih terfokus pada salah satu ayat di pasal kelima Gurindam Dua Belas. “Jika hendak mengenal orang berbangsa, lihat kepada budi dan bahasa”, (Raja Ali Haji).

Saya lanjut memasuki ruangan yang lumayan luas. Cukup untuk menampung lima ratusan orang. Terdapat satu pelaminan pengantin berhiaskan kain bewarna kuning, benda-benda adat dan corak-corak khas Melayu Kepulauan Riau. Balai ini memang dibangun untuk acara-acara adat, terutama untuk pertemuan-pertemuan adat rutin dan acara pariwisata. Di dalamnya tersimpan perkakas-perkakas kerajaan.

(Baca ini juga: Berkunjung ke Vihara Ksitigarbha Bodhisattva, Vihara Seribu Wajah)

– Minum Air Sumur

Selesai melihat-melihat bagian dalam, sebelum pulang saya melihat bagian bawah balai adat. Di situ terdapat sumur yang sudah berusia ratusan tahun. Airnya benar-benar higienis, bisa langsung diminum. Sudah dua kali airnya diperiksa di laboratorium. Saat saya coba, airnya benar-benar terasa menyegarkan. Apalagi setelah berkeliling ke beberapa tempat di pulau, lelah dan dahaga langsung hilang minum 5 teguk airnya.

dermaga pulau penyengat #theta360 – Spherical Image – RICOH THETA

Nah, itulah cerita jalan-jalan saya ke pulau Penyengat di Kepulauan Riau. Saya menginap di kota Tanjungpinang dan jalan-jalan ke beberapa tempat wisata pulau Bintan juga. Tunggu postingan selanjutnya mengenai wisata TanjungPinang lainnya ya.

xpressair-inflight-mag-pulau-penyengat-oktober-2016-1 xpressair-inflight-mag-pulau-penyengat-oktober-2016-2 xpressair-inflight-mag-pulau-penyengat-oktober-2016-3

Related posts

16 comments

  1. Udah pictnya keren, tulisannya ketjeh pula. Lengkap. Akurat. Itu kolaborasi antara wawancara dengan baca manuskrip, ya om? Porsi mana yang lebih banyak? #kepoPositif….

  2. Take me to that place, please!! Pengin juga ke sana dan kenal lebih banyak budaya.. Semoga lain waktu bisa ke sana deh. Makasih banyak untuk ulasan dan foto ciammiknya, Pak! Jadi tahu sedikit walaupun belum ke sanaa..

    1. Nah itu dia kak, aku juga belum banyak eksplorasi pulau ini. Semakin dipelajari jadi semakin asik buat didatangi.

  3. Saat sampai di bagian ini : “Satu penumpang satu jaket pelampung, untuk keamanan penyeberangan. Nama-nama pun dicatat oleh petugas pelabuhan”.

    … anganku melayang sesaat ke suatu tempat.

    Ahhh… saatnya “move ON” :).

Comments are closed.