Kampung Wisata Gedung Batin – Baiknya kita kemana hari ini, Air Terjun Gangsa atau ke Kampung Wisata Gedung Batin. Itu diskusi singkat antara saya dan Budhi Marta Utama.
Ga perlu debat panjang lebar, di hari Senin (25/04/2016). Dan setelah berdiskusi dengan panitia lomba foto wisata Way Kanan yang mengundang, kami sepakat sore itu untuk berkunjung ke Gedung Batin.
Malam itu, Minggu (24/04/2016), saya berdua Budhi Marta Utama naik kereta jurusan Kertapati dari Stasiun Tanjungkarang, turun di stasiun Blambangan Umpu. Kereta berangkat pukul 21:00 tepat, sampai di Blambangan Umpu pukul 01:50 dini hari.
Meski agak lelah, namun tetap semangat pergi. Ada kesempatan mengunjungi tempat wisata di Lampung dalam waktu yang sempit membuat saya semangat 🙂
Saya juga betah naik kereta sekarang, lebih bersih dan teratur. Tidak seperti naik kereta 20-10an tahun lalu. Pemesanan tiket kereta pun mudah. Bisa dilakukan di indomaret atau melalui web resmi Kereta Api Indonesia. Mudah, cepat, dan praktis.
Blambangan Umpu
Sampai di stasiun Blambangan Umpu, kami disambut oleh bang Yazid dan kawan-kawan yang bertindak sebagai tuan rumah para juri lomba foto ini. Mereka sepertinya sudah menunggu lama, terlihat dari muka ngantuk mereka.
Selesai basa-basi, kami pun langsung meluncur ke rumah bang Yazid yang tidak jauh dari stasiun, sekitar 5 km kalau tak salah.
“Kayaknya asik nih kalau kita ngopi,” Begitu kata bang Yazid setiba di rumahnya.
“Ga deh bang, makasih.” saya berdua Budhi menjawab spontan.
Kalau kami mengiyakan lalu dibuatkan kopi, mungkin ga kelar ngobrol dini hari itu sampai subuh bahkan sampai matahari terbit. Mata saya sudah pingin terpejam saat itu.
Hanya satu porsi martabak keju di meja yang membuat mata saya melek lebar kembali. Meski sudah dingin dan perut masih kenyang, 3 potong martabak langsung saya hajar 😀
Setelah ngobrol-ngobrol santai sampai 03:30, saya undur diri masuk kamar dan tidur pulas. Selain karena perut kenyang terisi martabak, juga karena 2 hari terakhir saya kurang tidur.
Kampung Wisata Gedung Batin
Pagi itu, Senin (25/04/2016) tidak ada kegiatan bagi para juri karena para panitia lomba foto masih sibuk membereskan urusan mereka di festival Radin Jambat.
Setelah makan siang pindang patin di Rumah Makan Teteh di jalan Pemda km 2 dan Ferdi sudah tiba di rumah bang Yazid, kamipun langsung meluncur ke arah Kampung Wisata Gedung Batin.
“Dari Blambangan Umpu sini kita ke arah Bukit Kemuning. Kalau diukur dari stasiun Blambangan Umpu ke Kampung Wisata Gedung Batin berjarak sekitar 26 km dengan waktu tempuh 40 menit. Jalannya enak kok, mulus.” Jelas bang Yazid sambil mengemudikan mobilnya.
Sampai di simpang kampung Gunung Katun, sebelum masuk ke kiri ke jalan arah Gedung Batin kami mampir di sebuah toko serba yang ada persis di pertigaan itu untuk membeli minuman secukupnya kalau-kalau haus di dalam. Setelahnya kami langsung menuju Gedung Batin melalui jalan yang lebih kecil dan jalan bebatuan menjelang sampai.
Totak sekitar 40 menit berkendara dari Blambangan Umpu melewati jalan trans Sumatera, lalu memasuki jalan provinsi dan melewati perumahan warga ex-trans, tanah kosong, dan kebun sawit, tiba-tiba bang Yazid menghentikan mobilnya di sebuah tugu kecil sebelum memasuki sebuah perkampungan. Bang Yazid mengajak kami keluar mobil untuk melihat dari dekat tugu tersebut. Ternyata tugu ini adalah tugu Pencanangan Kampung Wisata Lestari Gedung Batin. Ada sebuah prasasti terbuat dari fosil kayu yang sudah membatu, ditandatangani oleh Sekjen Kebudayaan dan Pariwisata di tahun 2007 itu, Dr. Sapta Nirwandar.
Rumah Berumur 200an tahun
Dari tugu pencanangan Kampung Wisata Gedung Batin, kami lanjutkan berjalan kaki ke kanan melewati jalur setapak. Hanya 30an meter kami sampai di dua rumah panggung kayu yang terlihat tua. Engsel jendelanya ada yang buatan Inggris dan ada yang buatan Cina, bang Yazid menjelaskan ke saya.
Dan konon cerita turun temurun, jalur setapak yang kami lewati itu dulunya merupakan jalur perdagangan yang ramai yang berujung di sungai besar. Sama seperti cerita rumah mereka yang sudah ditempati oleh tujuh turunan dan berusia 210an tahun.
Saya percaya saja dengan cerita jalur transportasi itu. Walau sekarang hanya terlihat seperti jalan setapak yang becek saat hujan.
A photo posted by Budhi Marta Utama (@paralampung) on
Dari rumah pertama, kami melanjutkan ke rumah berikutnya. Sebuah rumah besar dan memanjang. Sebagian kayunya nampak sudah berongga-rongga dimakan rayap, namun masih terlihat kokoh.
Dikenalkan ke salah satu warga, pak Ali Bakri (47), saya pun banyak bertanya-tanya tentang kampung dan rumah-rumah kayunya yang membuat saya jatuh hati pada budaya lokal ini.
“Saya keturunan ke-7 yang menempati rumah ini, saya sudah berusia 47 tahun dan sudah mempunyai keturunan lagi, rumah ini masih belum goyang.
Dan rumah-rumah ini belum ada yang direnovasi, termasuk tiang-tiangnya. Termasuk engsel-engselnya, engsel lama semua itu.” Pak Ali Bakri bercerita.
Pak Ali Bakri menjelaskan bahwa rumha-rumah ini memakai kayu Mampang. Dijelaskan, semakin lama ditancapkan ke tanah, kayu ini akan semakin kuat.
“Kita ini kan masyarakat yang nurut aturan. Kita nurut adat istiadat, nurut undang-undang. Dan kita ingin mempertahankan daerah ini supaya bisa lestari, karena ini kan tanah kelahiran. Apapun yang ada di sini, termasuk makam-makam orang dulu masih ada semua. Alangkah bagusnya kalau semua bisa dipelihara.” Lanjut pak Ali Bakri.
Pak Ali Bakri juga menjelaskan bahwa warga Kampung Wisata Gedung Batin sangat bergantung pada jembatan yang ada. Karena jembatan yang ada bisa menghubungkan banyak desa sekitar. Termasuk Sukarame, Tulung Buyut, Gedung Jaya, Kali Papan, lalu Kayu Batu.
Termasuk kalau mau ke Kotabumi juga bisa lewat jalan situ selain lewat jalan lintas Sumatera. Sarana penunjang yang bisa mendukung desa wisata juga belum ada.
Selain rumah yang unik, di sungai sekitar kampung ada yang namanya “Iwak Tapa”, ikan tapa. “Ikan ini luar biasa besarnya, bisa memakan manusia. Besarnya bisa menyamai kerbau. (Bener ga ya?)
Ikan itu kalau dimakan rasanya, enak sekali. Tetapi kalau yang sudah tua rasanya sudah kenyal-kenyal. Tapi kalau yang ukurannya masih sebatang kelapa masih enak.” terang pak Ali Bakri.
Dengar cerita ikan sebesar kerbau, jadi penasaran sama bentuk dan rasanya. Gimana rasanya kalau digoreng, dibakar, atau digulai ya. Mudah-mudahan lain waktu ada kesempatan buat icip-icip iwak tapa ini.
Rumah Tua yang Adem
Melihat rumah-rumah tua terbuat dari kayu ini membuat saya langsung jatuh cinta sama Kampung Wisata Gedung Batin ini. Suasana terlihat asri dengan adanya tumbuh-tumbuhan di halaman dan kebun-kebun warga di sekitar.
Rumah-rumah yang berasa menyatu dengan alam. Sambil berdiri saya sudah membayangkan, apa rasanya pagi-pagi duduk di teras sambil nyeruput kopi. Pasti luar biasa nikmatnya.
Pak Ali Bakri menyilakan saya untuk masuk ke dalam rumahnya. Saya jadi agak kawatir, males pulang nantinya setelah lihat suasana dalam rumah 😀
Dan nyatanya, saat baru naik ke teras rumah saja saya langsung terbelalak. Teras rumah panggungnya luas banget, jangan-jangan rumah mungil saya kalah besar, hehehe. Dan di situ terdapat satu set meja dengan kursi-kursi tua yang sepertinya jarang diduduki.
Saya yakin rumah ini akan berasa sejuk di musim kemarau dan terasa hangat di musim penghujan. Harus kembali lagi dan ingin merasakan menghabiskan malam di rumah panggung kampung Gedung Batin ini.
Saya kemudian minta izin untuk masuk ke bagian dalam rumah. Melihat-lihat perabotan yang ada, meja, lemari, kaca, dan rak. Tidak mau berlama-lama, saya sempatkan foto diri di sebuah cermin yang tergantung agak miring di dekat jendela. Jarang-jarang bisa pose di hadapan kaca antik 😀
(Baca juga: Mengangkat Wisata Alam Way Kanan)
Keliling Kampung Wisata Gedung Batin
Pak Ali Bakri dan bang Yazid mengajak kami untuk keliling kampung. Dimulai dengan memasuki sebuah kebun yang dipagari untuk mencegah hewan peliharaan dan hewan liar memakan tanaman yang ada. Lalu kami sampai lah di sungai Way Besai.
Sungai ini lumayan deras airnya dan di beberapa titik terlihat tenang airnya. Dan saat saya tanya, ternyata dalamnya lumayan di situ. Di bagian seberang di dekat air tenang itu terdapat cerukan di dinding sungai. Disekitar situ lah katanya ikan tapa banyak ditemukan. Ga kebayang rasanya kalau tercebur di situ…
Dari situ lalu kami menyusuri sungai melalui jalan setapak melintasi rumpun bambu, pepohonan besar dan kebun warga. Lalu menyeberangi sungai di sebuah jembatan gantung yang kokoh. Dasar fotografer, melihat hal-hal seperti ini yang jarang ditemui di kota, kami langsung jeprat jepret menghabiskan beberapa shutter di situ 😀
Sampai di seberang sungai, baik Budhi Marta dan Ferdi masih saja motret beberapa subyek foto yang ada. Di kejauhan ada seoarang kakek yang menjaring ikan. Mereka pun tampak asik dengan kameranya masing-masing. Sedangkan saya hanya memegang kamera Andromax R2 yang belum lama saya miliki. Mencoba ambil momen lain saja.
Dimana Bumi Dipijak di Situ Langit Dijunjung
Tak terasa hari semakin sore dan mulai meredup. Kami kembali ke kampung, tepatnya di depan rumah pak Ali Bakri. Kalau tak terburu-buru sayang ingin sekali menikmati minum kopi di situ. Tetapi malam hari nanti kami harus melakukan penjurian foto.
“Mas, cobalah kasih pak Ali ini wejangan sebelum kita pulang. Terutama terkait pariwisata.” Tiba-tiba bang Yazid colek saya.
Waduh. Saya ga pernah ngajari penduduk lokal saat saya berkunjung ke tempat-tempat seperti ini. Selama ini saya justru banyak belajar dari kearifan lokal yang mereka miliki.
Sudah banyak pelajaran yang saya dapat dari mereka warga lokal di mana tempat yang sudah saya kunjungi. Dan kalau diminta untuk ngajari seperti saat ini, saya jadi bingung.
Setelah berpikir cepat mau bilang apa, akhirnya saya cuma bercerita. Saya ini bukan berdarah Lampung, saya berdarah Menado tetapi sudah lama tinggal di Lampung. Saya sangat cinta kebudayaan Lampung.
Dulu sekali, saya dan kawan-kawan penggemar fotografi Lampung senangnya berburu foto sampai luar daerah, sekarang kami senangnya berburu foto dan belajar budaya cukup di Lampung saja.
Beberapa tempat yang kami kunjungi yang dulunya tidak terkenal sekarang menjadi sangat terkenal. Karena alamnya yang indah, dan budaya lokalnya yang luhur. Juga kulinernya yang sangat lezat.
Kami cuma perlu sambutan ramah, senyuman dan suguhan kampung yang bagi orang kampung itu sendiri hanya ala kadarnya, tetapi bagi kami itu luar biasa.
“Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung, itu saja prinsip kami saat sedang berkunjung. Mudah-mudahan kita bisa bekerjasama ya pak Ali.” Demikian kata penutup saya yang sudah kayak pejabat daerah menutup pidatonya 😀
Ingin Kembali
Dari Kampung Wisata Gedung Batin kami kembali ke Blambangan Umpu untuk menyelesaikan tugas penjurian lomba foto. Sudah kebayang bakal alot proses penjuriannya.
Belum lagi saya harus segera kembali ke Bandar Lampung dan menyelesaikan tugas sebagai juri foto di sebuah lomba foto yang diadakan sebuah perusahaan provider telekomunikasi besar cabang Lampung esok hari. Capek ya.. 😀
Yang jelas, saya sangat ingin kembali ke Kampung Wisata Lestari Gedung Batin ini. Merasakan suasana adem, nyaman, aman, sejuk, ramah, dan nikmat nyeruput kopi di teras rumah panggung.
Keliling Lampung nikmati wisata Lampung yang seakan menjelajah waktu ke masa lampau, untuk sejenak melupakan segala urusan yang melelahkan di kota 🙂
Sudah 2 abad rumahnya masih berdiri kokoh. Luar biasa. Kayunya pasti kayu sangat bagus. Masih ada nggak ya kayu seperti itu?
namanya Kayu Mampang.
Entah masih banyak atau ngga kayu jenis itu saat ini.
Seraso mecak balek dusun aku hehehehhhe 😀
Kampungnya dimana? mau lah kapan2 main juga ke sana 🙂
Mas Yo, kapan aku ke Lampung ajakin mblusukan kampung seperti ini dong. Pengen lihat rumah-rumah tua seperti ini
Ayo bu Evi kita blusukan di Lampung. Ada beberapa desa seperti ini yang mau kami kunjungi kedepannya.
Aku paling suka jalan ke tempat srperti ini mas… Ajakin doonk 😀
Abaikan saja warning letter kalau gitu :p
Misiiii cuma mau bilang kalau ngiler pengen extend baca tulisan ini. Udah gitu doank *melipir misek2
yakin cuma melipir aja? 😀
Kenapa di bilang ikan tapa ya? Mungkin suka bertapa kali ya *elusdagu *sokmikir
Nanti kita tanya bareng2 ya mbak Rosanna 🙂
Semenguk kalau ga salah pak. Nanti aku koreksi lagi kalau salah..
Ada sensasi tersendiri saat berkunjung ke tempat2 seperti ini ya…
Om Yo, aku pengen ke sini 🙂
Sy dl pernah tgal di gedung Suryan..dan taun depan jika Allah berkehendak kami ingin cari perkebunan sna Lgi dan tgal disna Lgi. Tempat nya guys surga dunia menurut sy. Dingin serba alami.. daerah Lampung emg ok banget