Desa Tenganan Bali – Dari arah Denpasar di jalan Raya Candidasa kami berbelok ke kiri sebelum Pantai Candidasa. Memasuki Jalan Raya Pesedahan menuju Desa Tenganan Pegringsingan, melalui pepohonan rimbun dan melewati Desa Pesedahan. Sampai akhirnya tiba di ujung jalan, di situlah Desa Tenganan berada. Mentok belok ke kanan memasuki area parkir kendaraan yang cukup luas.
Hari itu, Selasa (05/06/2018), adalah hari pertama even Tenganan Festival 2018. Acara pembukaan dijadwalkan pada pukul 15:00 WITA. Namun sebelum acara pembukaan, beberapa acara sudah berlangsung terlebih dahulu. Kami masih punya waktu untuk berkeliling melihat pesona keindahan Desa Tenganan.
Desa Bali Aga
Saya juga baru tau nih saat menulis artikel ini. Ternyata Desa Tenganan Bali adalah satu dari tiga Desa Bali Aga, selain selain desa Trunyan dan Sembiran. Bali Aga itu desa yang masih mempertahankan budaya yang diwariskan turun temurun dari nenek moyang mereka.
Semua hal masih dipertahankan, termasuk bentuk dan besar bangunan dan pekarangan rumah. Letak bangunan pura dan rumah pun masih mengikuti adat budaya turun temurun.
Lokasi desa Tenganan itu berada di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem. Berada di bagian Timur Pulau Bali. Dari Bandara Internasioal Ngurah Rai berjarak sekitar 68 kilometer dengan waktu tempuh sekitar 2 jam.
Baca ini yah: Pesona Savana Doro Ncangan dan Festival Tambora 2018
Masuk ke Tenganan Bali Aga Village
Dari area parkir ke pintu masuk ke Tenganan Bali Aga Village tidak lah jauh. Melewati beberapa toko cinderamata, lalu akan kita jumpat batu bertuliskan Tenganan Pegringsingan, Desa Bali Aga.
Lalu ada batu kedua bertuliskan Welcome to Tenganan Pegringsingan. Ada petunjuk arah loket untuk memberikan donasi ke kanan dan arah entrance ke kiri. Berilah donasi dengan sukarela, tapi jangan juga pelit-pelit ya dan bilang itu pungli 😀
Suasana Tenganan Village
Siang itu ada terlihat beberapa rombongan wisatawan mancanegera sedang berkunjung. Beberapa warga Tenganan dan warga dari desa sekitar juga terlihat hilir mudik. Namun suasana desa yang adem tetap dapat membuat suasana ketenangan dalam hati pengunjung seperti saya ini.
Kami memasuki desa Tenganan dari sisi Selatan yang lebih rendah dari sisi Utara. Yang pertama saya lihat adalah Bale Banjar, satu kompleks bangunan yang sepertinya digunakan untuk keperluan pertemuan resmi desa adat dan juga pertemuan tidak resmi. Juag dipakai dalam beberapa perayaan.
Di seberangnya ada bangunan panjang yang disebut Bale Agung. Bangunan ini digunakan untuk pertemuan pertemuan untuk membahas soal peraturan desa. Dan ada beberapa bangunan yang saya lupa namanya. Kamu bisa cari sendiri di google ya 😉
Melihat ke arah Utara, desa ini begini asri sekali. Dikelilingi oleh bebukitan yang masih merupakan kaki gunung Agung. Memang sih, Tenganan ini berada di lembah kecil yang berada di kaki Gunung Agung. Berdasar peta, perkiraan saya jarak dari puncak gunung sekitar 17 kilometer.
Sejarah Desa Tenganan Bali
Baca-baca di Wikipedia, dikatakan bahwa sebagian versi catatan sejarah, kata Tenganan berasal dari kata “tengah” atau “ngatengahang” yang memiliki arti “bergerak ke daerah yang lebih dalam”. Dulu, ada pergerakan masyarakat dari daerah pesisir pantai ke arah dalam di bebukitan.
Versi lain yang masih dari Wikipedia, masyarakat Tenganan berasal dari Desa Peneges, Gianyar, yang dulu disebut sebagai Bedahulu. Menurut cerita rakyat, daerah yang sekarang menjadi Desat Tenganan adalah daerah yang diberikan kepada Ki Patih Tunjung Biru, orang kepercayaan sang raja, karena menemukan salah satu kuda raja yang hilang.
Waktu Terbaik Berkunjung
Melihat kebudayaan Desa Tenganan yang lebih lengkap, saran saya ya datanglah saat acara Festival Tenganan berlangsung. Hitungan bulannya, yaitu di bulan kelima penanggalan Tenganan atau sekitar bulan Juni dan Juli di penanggalan Masehi.
Untuk tanggal pastinya, bisa pantau akun-akun dan website resmi kementerian atau akun Generasi Pesona Indonesia (GenPI).
Akomodasi dan Transportasi
Denpasar – Tenganan tidak terlalu jauh menurut saya, hanya sekitar 68 kilometer. Saya dan kawan-kawan memilih menginap di hotel di sekitaran Kuta yang lebih banyak memiliki pilihan makan dan belanja.
Kalau kamu mau yang lebih dekat, bisa cari penginapan yang ada di Candidasa. Rate penginapan di Candidasai, saya lihat di Tripadvisor, dimulai dari 250an ribu rupiah.
Untuk transportas, baiknya memang menggunakan mobil sewa. Karena menurut pengamatan saya, sangat jarang angkutan umum ke Desa Tenganan ini.
Daya Tarik Desa Tenganan
Menurut pak Ngurah Putra, Koordinator Tim Calendar of Event Kemenpar, desa Tenganan itu memiliki banyak keunikan. Daya tariknya adalah tradisi perang pandan atau Mekare-kare dan tenun ikat Gringsing. “Jangan buru-buru pulang sebelum melihat tradisi perang pandan di sini. Itu daya tariknya,” begitu kata pak Ngurah Putra kepada saya setelah acara pembukan Tenganan Festival 2018, Selasa (05/06/2018), selesai sore hari.
Apa sih Perang Pandan dan Tenun Ikat Gringsing itu? Simak aja terus sampai bawah ya..
Ngayunan Damar
Sebelum bahas Perang Pandan dan Kain Gringsing, saya mulai dulu dari tradisi ayunan yang ada di Tenganan.
Saat pertama masuk Tenganan, saya pikir ini hanyalah ayunan biasa yang bentuknya berbeda. Berbentuk seperti komidi putar di pasar malam yang sering saya jumpai. Namun ternyata dugaan itu meleset jauh. Tradisi ngayunan damar ternyata hanya dimainkan sekali dalam setahun. Yaitu di bulan kelima perhitungan Tenganan, atau sekitar bulan Juni atau Juli, setelah selesai perang pandan.
Dan kita tidak boleh begitu saja memainkannya, ada rangkaian ritual yang harus dilalui. Kirain, siapa saja bisa menaikinya 😀
Dimainkan oleh 4 atau 8 gadis belia yang disebut Truni Daha. Atau kalau tidak lengkap bisa diisi oleh Truna (laki-laki) yang belum dewasa.
Saat memainkan tradisi ini, gadis belia tersebut mengenakan kain khusus, yaitu kain rangrang. Kain tradisional khas masyarakat Bali Aga yang bewarna keemasan.
Perang Pandan
Begitu memegang teguh sekali masyarakat Tenganan, sampai-sampai tradisi unik perang pandan pun masih berlangsung sampai saat ini. Perang pandan ini menjadi semacam pendidikan dan tes bertahap bagi para pria calon pemimpin Tenganan untuk memimpin desanya.
Di acara ini, dua pemuda desa bertarung menggunakan pandan yang diikat sehingga berbentuk seperti gada dan sebuah tameng kecil dari anyaman rotan. Mereka saling pukul dan menggosokkan pandan ke kawan tandingnya, sampai luka dan mengeluarkan darah.
Pertempuran berakhir bilasalah satu atau kedua petarung terjatuh atau dipisah oleh juru pisah. Kemudian pasangan tanding berikutnya yang tampil dan seterusnya sampai semua peserta mendapat giliran.
Tidak ada marah apalagi dendam selama dan sesudah acara berlangsung. Yang ada justru gelak tawa dan sorak sorai bila ada terluka atau terjatuh. Benar-benar kontras ya, antara kekerasan dan kegembiraan.
Tidak ada duanya di Bali, Perang Pandan hanya ada di Tenganan. Khusus Perang Pandan akan saya bahas dalam satu artikel.
Baca di sini: Pesona Perang Pandan di Desa Tenganan Bali
Tenun Ikat Gringsing
Selain Perang Pandan, saya juga terpesona dengan Kain Gingsring dan nilai filosofi di dalamnya. Dan keduanya hanya ada di desa yang dulu, sebelum 1970an, masyarakatnya sempat disebut sebagai yang paling terpencil di nusantara.
Saya baca-baca di beberapa bahan bacaan, kain tenun ini tidak diketahui secara pasti sejak kapan mulai ada di desa Tenganan Pegringsingan. Yang jelas teknologi lama dan proses pembuatannya masih terjaga sampai sekarang, itu poin pentingnya.
Perempuan desa Tenganan saat ini masih menjaga budaya pembuatan kain tenun ikan Gringsing. Dan menjadikan proses pembuatan kain sebagai atraksi wisata dan hasil jadinya sebagai cendera mata yang bisa dibeli oleh wisatawan.
Proses pembuatan Kain Gringsing dengan teknik dobel ikat. Teknik tersebut merupakan satu-satunya di Indonesia. Dan hebatnya lagi, kain gringsing terkenal sebagai kain yang istimewa hingga ke mancanegara.
Jangan lupa baca ini: Pesona Wisata Kawah Ijen Banyuwangi
Pesona Gringsing
Gringsing berasal dari kata “Gering” yang berarti sakit dan “Sing” yang berarti tidak. Bisa diartikan sebagai “Terhindar dari sakit”. Mengandung makna “tolak bala”.
Keindahan kain tenun ikat ini bukan dari polanya, namun dari warna yang proses pengeramannya bisa mencapai 10 tahun bahkan lebih untuk memperoleh warna yang matang. Salah proses, warna yang dihasilkan bisa tidak sesuai harapan. Susahnya ya….
Dan kain gringsing tersebut dipercaya oleh masyarakat Tenganan mempunya kekuatan magis yang melindungi mereka. Yang mampu mengusir penyakit dan rasa sakit.
Dewa Indra dipuja dan dihormati melalui Perang Pandan (Mekare-kare). Estetika dan mitos bercampur menjadi satu melalui kain Gringsing.
Di tengah pertempuran Perang Pandan di bulan kelima perhitungan Tenganan, ada sakit dan luka akibat duri yang menggesek dan menancap di kulit para pemuda Tenganan. Dan kain Gringsing hadir sebagai obat yang menguatkan hati para pemuda tersebut.
Sebuah kombinasi yang terjalin begitu indahnya, menjadikan pesona desa Tenganan Karangasem Bali sangat sayang untuk dilewatkan.
Pak Ngurah Putra berujar, Pak Menteri Arief Yahya sering bilang, budaya itu semakin dilestarikan akan semakin menyejahterakan. Begitu pula dengan budaya di Tenganan Village Bali ini. Jangan sampai terkikis oleh perkembangan zaman.
Ah acaranya seru banget ini pas tanggal 7 Juni kemarin ya, Om. Apa lagi pas perang pandan, perang pandan itu udah menjadi tradisi ya Om. Itu main ayunannya seru banget, jadi ingin mencoba.